AKTA NOTARIS: Nomor 08, Tanggal 27 November 2012 RA.CHANDRA DEWI KUSUMAWATI,SH Informasi Pendaftaran Hub.0878 384 63732

Senin, 12 November 2012

SYARAT SAHNYA IBADAH

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita berupa kenikmatan iman dan Islam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, shahabatnya serta kepada seluruh pengikutnya sampai hari kiamat kelak. Amin.
Manakala beramal ibadah dengan berbagai jenisnya, seorang muslim sangat berharap agar seluruh amalannya diterima oleh Allah Ta’ala. Namun perlu diketahui, sesungguhnya limpahan pahala yang Allah Ta’ala janjikan hanyalah akan didapatkan bagi orang yang memenuhi syarat-syarat di dalam beramal ibadah.

Ibadah merupakan kewajiban utama yang dibebankan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan di ciptakannya manusia dan jin. Allah Ta’ala berfirman:
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.(QS. Adz-Dzariyat : 56).
Ini adalah tujuan Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Demikian pula Allah Ta’ala mengutus seluruh rasul untuk mengajak mereka beribadah semata-mata kepada Allah Ta’ala.
Oleh karena itu apapun bentuk dan macam ibadah kepada Allah Ta’ala akan diterima sebagai amal shalih apabila memenuhi dua perkara, yaitu pertama, ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Dan kedua, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Amal yang didasari dengan dua perkara ini disebut amal shalih. Allah Ta’ala berfirman:
              
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi : 110).
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:
                 
(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(QS. Al-Baqarah : 112).
Dan firman-Nya juga :
        
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan”. (QS. An-Nisaa’ :125).
Dalam menjelaskan ayat,
    
Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (QS. Al-Mulk : 2).
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Yang paling ikhlas dan paling benar”. Orang-orang bertanya kepadanya,”Wahai Abu Ali (Al-Fudhail bin “Iyadh) apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar?” Jawabnya :”Sesungguhnya suatu amalan bila sudah diikhlaskan karena Allah Ta’ala akan tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amal itu tidak akan diterima. Demikian pula amal itu jika sesuai dengan tutunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi kosong dari keikhlasan kepada Allah Ta’ala, amal itupun tidak akan diterima. Karenanya amal itu harus ihklas dan sesuai dengan tutunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Tidaklah seorang hamba dapat mewujudkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Fatihah ayat 5:
  
. “Hanya Engkaulah yang Kami sembah”. (QS. Al-Fatihah : 5).
Yakni tidak bisa seorang hamba mewujudkan peribadahan dengan benar kecuali dengan dua prinsip dasar yang agung ini:
  1. Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Mengikhlaskan kepada Dzat yang disembah ( Allah Ta’ala ).
Ini merupakan realisasi firman Allah dalam surat Al-Fatihah tersebut. Berdasarkan dua prinsip dasar tersebut, maka manusia bias digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu:
Pertama: Orang-orang yang mengikhlaskan kepada Dzat yang disembah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadahnya, mereka adalah orang-orang yang seperti dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Fatihah.
Maka amal mereka semua untuk Allah, baik ucapan, pemberian, penolakan, kecintaan dan kebencian. Begitu pula muamalah mereka, secara lahir dan bathin, semata mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibadahnya pun diselaraskan dengan perintah Allah Ta’ala, selaras dengan apa yng dicintai dan diridhai-Nya. Selain amal yang demikian ini niscaya tidak akan diterima Allah Ta’ala. Dialah yang telah menguji hamba-Nya dengan kematian dan kehidupan, yang semua itu karena-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali dilandasi ikhlas karena-Nya dan di atas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena selain itu adalah amal yang dikembalikan kepafda pelakunya menjadi amal yang tertolak dan sia-sia.
Kemudian semua amal tanpa disertai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya tidak akan menjadi nilai positif bagi pelakunya, kecuali semakin jauh dari amal shalih. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala diibadahi dengan tata cara yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan pendapat dan hawa nafsu seseorang.
Kedua: Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Amalnya tidak sesuai syariat dan tidak pula mengikhlaskan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Contohnya seperti orang-orang yang beramal karena ingin dilihat manusia dan beramal dengan apa yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah sejahat-jahat makhluk dan paling dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti ini banyak sekali terjadi pada orang-orng yang telah melakukan penyimpangan, yang aslnya dari kalangan orang yang sekan menyandarkan diri kepada ilmu, kefakiran dan ibadah di atas jalan yang lurus. Padahal mereka sesungguhnya telh melakukan amaliah bid’ah dan kesesatan, riya’ dan sum’ah serta kagum bila dipuji. Amal mereka tidak dilakukan dengan dasar ittiba’, ikhlas dan ilmu. Mereka adalah orang-orang yang dimurkai dan sesat.
Ketiga : Orang yang ikhlas beramal tetapi tidak berada di atas tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ahli ibadah yang jahil (tidak berilmu), orang-orang yang menasabkan dirinya kepada jalan zuhud dan kefakiran, serta setiap orang yang beribadah tanpa didasari adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meyakini bahwa ibadahnya tersebut merupakan manifestasi taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Realita seperti inilah yang ada dewasa ini. Juga tumbuhnya sangkaan, bahwa sama’ (satu bentuk ibadah ritual kum Sufi dengan cara bernyanyi) dengan siulan dan tepuk tangan merupakan bentuk amal untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Keempat : Orang yang amalnya di atas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti ketaatan orang-orang yang riya’, yang berperang karena riya’, kesukuan dan agar di sangka pemberani atau orang berhaji agar digelari, orang yang membaca Al-Qur’an agar disebut qori’. Secara zhahir amaliah mereka adalah amal shalih dan diperintahkan untuk mengamalknnya, tetapi hakekatnya ap yang mereka perbuat tidak termasuk dalm katagori amal shalih dan tertolak.
Masalah keikhlasan ini telah disebutkan Allah Ta’ala,
                 
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.(QS. Al-Bayyinah : 5).
    
Dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya”.(QS. Al-A’raf : 29).
Dalam shahahain dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,” Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Bahwa amal perbuatan itu tergantung dengan niat dan setiap orang sesuai dengan yang dia niatkan, maka barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah untuk kepentingan dunia dan keinginan untuk menikahi seorang wanita, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi motivasinya berhijrah”.
Asy-Syaukani rahimahullah menyatakan berkenaan hadits ini, “Bahwa hasil dan ketetapan satu amal perbuatan tidak diperoleh kecuali dari yang diniatkannya. Maka tidak ada hasil atau ketetapan untuk sesuatu yang tanpa disertai niat”.
Adapun mutaba’ah (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
             
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya”. (QS. Al-An’am : 153).
              
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Ali Imran: 31).
Dalam shahihain, dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia telah berkata,” Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) dalam urusan (agama) kami ini, yang tidak ada padanya (perintah kami) maka amal itu tertolak”.
Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa beramal dengan sebuah amal yang tidak ada padanya perintah kami maka amalan tersebut tertolak”.
Berkenaan dengan hadits ini al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengemukakan, “Hadits ini merupakan salah satu prinsip dasar yang agung yang merupakan bagian prinsip-prinsip dasar Islam lainnya. Hadits ini berfungsi sebagai standar dalam mengukur sisi lahir satu amal. Sebagaimana hadits,”Bahwa setiap amal (tergantung) dengan niat” yang berfungsi sebagai standar sisi batin. Karenanya, semua amal yang tidak didasari dengan mengharap wajah Allah Ta’ala, maka bagi pelaku amal tersebut tentu tidak akan memperoleh pahala. Demikian pula amal yang tidak dibangun di atas perintah Allah dan Rasul-Nya niscaya menjadi amal yang tertolak.
Demikianlah syarat yang harus kita penuhi di dalam beramal manakala salah satunya tidak ada maka amalan kita tidak akan berpahala. Semoga Allah Ta’ala selalu membimbing kita semua di dalam berilmu dan beramal. Wallahu a’lam bi shawwab. (Di ringkas dari Al-Hujjajul Qawiyyah ‘ala Anna Wasa’ila Da’wah Tauqifiyyah. Abdussalam bin Barjas. Darus Salaf. Riyadh KSA).





.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Earth Cursors at www.totallyfreecursors.com