Alhamdulillah
puji syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala yang
telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita berupa kenikmatan iman dan
Islam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, shahabatnya
serta kepada seluruh pengikutnya sampai hari kiamat kelak. Amin.
Manakala
beramal ibadah dengan berbagai jenisnya, seorang muslim sangat
berharap agar seluruh amalannya diterima oleh Allah Ta’ala. Namun
perlu diketahui, sesungguhnya limpahan pahala yang Allah Ta’ala
janjikan hanyalah akan didapatkan bagi orang yang memenuhi
syarat-syarat di dalam beramal ibadah.
Ibadah
merupakan kewajiban utama yang dibebankan Allah Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan di
ciptakannya manusia dan jin. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.(QS. Adz-Dzariyat : 56).
Ini
adalah tujuan Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia, yaitu untuk
beribadah kepada-Nya. Demikian pula Allah Ta’ala mengutus seluruh
rasul untuk mengajak mereka beribadah semata-mata kepada Allah
Ta’ala.
Oleh
karena itu apapun bentuk dan macam ibadah kepada Allah Ta’ala akan
diterima sebagai amal shalih apabila memenuhi dua perkara, yaitu
pertama, ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Dan kedua,
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Amal
yang didasari dengan dua perkara ini disebut amal shalih. Allah
Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi : 110).
Dalam
ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman:
“ (tidak
demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya
dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati”.(QS. Al-Baqarah : 112).
Dan
firman-Nya juga :
“Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan”. (QS. An-Nisaa’ :125).
Dalam
menjelaskan ayat,
“Supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”.
(QS. Al-Mulk : 2).
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Yang paling ikhlas dan
paling benar”. Orang-orang bertanya kepadanya,”Wahai Abu Ali
(Al-Fudhail bin “Iyadh) apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas
dan paling benar?” Jawabnya :”Sesungguhnya suatu amalan bila
sudah diikhlaskan karena Allah Ta’ala akan tetapi tidak sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amal
itu tidak akan diterima. Demikian pula amal itu jika sesuai dengan
tutunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi
kosong dari keikhlasan kepada Allah Ta’ala, amal itupun tidak akan
diterima. Karenanya amal itu harus ihklas dan sesuai dengan tutunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disebutkan
oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Tidaklah seorang hamba dapat
mewujudkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Fatihah ayat 5:
.
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah”. (QS. Al-Fatihah : 5).
Yakni
tidak bisa seorang hamba mewujudkan peribadahan dengan benar kecuali
dengan dua prinsip dasar yang agung ini:
- Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Mengikhlaskan kepada Dzat yang disembah ( Allah Ta’ala ).
Ini
merupakan realisasi firman Allah dalam surat Al-Fatihah tersebut.
Berdasarkan dua prinsip dasar tersebut, maka manusia bias digolongkan
ke dalam empat kelompok, yaitu:
Pertama:
Orang-orang yang mengikhlaskan kepada Dzat yang disembah dan
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadahnya,
mereka adalah orang-orang yang seperti dikatakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam surat al-Fatihah.
Maka
amal mereka semua untuk Allah, baik ucapan, pemberian, penolakan,
kecintaan dan kebencian. Begitu pula muamalah mereka, secara lahir
dan bathin, semata mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibadahnya
pun diselaraskan dengan perintah Allah Ta’ala, selaras dengan apa
yng dicintai dan diridhai-Nya. Selain amal yang demikian ini niscaya
tidak akan diterima Allah Ta’ala. Dialah yang telah menguji
hamba-Nya dengan kematian dan kehidupan, yang semua itu karena-Nya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amal kecuali dilandasi
ikhlas karena-Nya dan di atas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena selain itu adalah amal yang dikembalikan kepafda
pelakunya menjadi amal yang tertolak dan sia-sia.
Kemudian
semua amal tanpa disertai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sesungguhnya tidak akan menjadi nilai positif bagi pelakunya,
kecuali semakin jauh dari amal shalih. Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala diibadahi dengan tata cara yang dituntunkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan pendapat dan hawa nafsu
seseorang.
Kedua:
Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam beramal. Amalnya tidak sesuai syariat dan
tidak pula mengikhlaskan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Contohnya seperti orang-orang yang beramal karena ingin dilihat
manusia dan beramal dengan apa yang tidak disyariatkan Allah dan
Rasul-Nya. Mereka adalah sejahat-jahat makhluk dan paling dimurkai
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti
ini banyak sekali terjadi pada orang-orng yang telah melakukan
penyimpangan, yang aslnya dari kalangan orang yang sekan menyandarkan
diri kepada ilmu, kefakiran dan ibadah di atas jalan yang lurus.
Padahal mereka sesungguhnya telh melakukan amaliah bid’ah dan
kesesatan, riya’ dan sum’ah serta kagum bila dipuji. Amal mereka
tidak dilakukan dengan dasar ittiba’, ikhlas dan ilmu. Mereka
adalah orang-orang yang dimurkai dan sesat.
Ketiga
:
Orang yang ikhlas beramal tetapi tidak berada di atas tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ahli ibadah yang jahil
(tidak berilmu), orang-orang yang menasabkan dirinya kepada jalan
zuhud dan kefakiran, serta setiap orang yang beribadah tanpa didasari
adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meyakini bahwa
ibadahnya tersebut merupakan manifestasi taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Realita seperti inilah yang ada
dewasa ini. Juga tumbuhnya sangkaan, bahwa sama’ (satu bentuk
ibadah ritual kum Sufi dengan cara bernyanyi) dengan siulan dan tepuk
tangan merupakan bentuk amal untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala.
Keempat
: Orang yang amalnya di atas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan tetapi ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
seperti ketaatan orang-orang yang riya’, yang berperang karena
riya’, kesukuan dan agar di sangka pemberani atau orang berhaji
agar digelari, orang yang membaca Al-Qur’an agar disebut qori’.
Secara zhahir amaliah mereka adalah amal shalih dan diperintahkan
untuk mengamalknnya, tetapi hakekatnya ap yang mereka perbuat tidak
termasuk dalm katagori amal shalih dan tertolak.
Masalah
keikhlasan ini telah disebutkan Allah Ta’ala,
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
Itulah agama yang lurus”.(QS. Al-Bayyinah : 5).
“Dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya”.(QS.
Al-A’raf : 29).
Dalam
shahahain dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:”Bahwa amal perbuatan itu tergantung dengan niat dan setiap orang
sesuai dengan yang dia niatkan, maka barang siapa yang berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah untuk kepentingan dunia dan
keinginan untuk menikahi seorang wanita, maka hijrahnya kepada apa
yang menjadi motivasinya berhijrah”.
Asy-Syaukani
rahimahullah menyatakan berkenaan hadits ini, “Bahwa hasil dan
ketetapan satu amal perbuatan tidak diperoleh kecuali dari yang
diniatkannya. Maka tidak ada hasil atau ketetapan untuk sesuatu yang
tanpa disertai niat”.
Adapun
mutaba’ah (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka
ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya”. (QS.
Al-An’am : 153).
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Ali Imran: 31).
Dalam
shahihain, dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia telah berkata,”
Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,”Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah)
dalam urusan (agama) kami ini, yang tidak ada padanya (perintah kami)
maka amal itu tertolak”.
Dalam
riwayat Muslim, “Barangsiapa beramal dengan sebuah amal yang tidak
ada padanya perintah kami maka amalan tersebut tertolak”.
Berkenaan
dengan hadits ini al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengemukakan,
“Hadits ini merupakan salah satu prinsip dasar yang agung yang
merupakan bagian prinsip-prinsip dasar Islam lainnya. Hadits ini
berfungsi sebagai standar dalam mengukur sisi lahir satu amal.
Sebagaimana hadits,”Bahwa setiap amal (tergantung) dengan niat”
yang berfungsi sebagai standar sisi batin. Karenanya, semua amal yang
tidak didasari dengan mengharap wajah Allah Ta’ala, maka bagi
pelaku amal tersebut tentu tidak akan memperoleh pahala. Demikian
pula amal yang tidak dibangun di atas perintah Allah dan Rasul-Nya
niscaya menjadi amal yang tertolak.
Demikianlah
syarat yang harus kita penuhi di dalam beramal manakala salah satunya
tidak ada maka amalan kita tidak akan berpahala. Semoga Allah Ta’ala
selalu membimbing kita semua di dalam berilmu dan beramal. Wallahu
a’lam bi shawwab. (Di
ringkas dari Al-Hujjajul Qawiyyah ‘ala Anna Wasa’ila Da’wah
Tauqifiyyah. Abdussalam bin Barjas. Darus Salaf. Riyadh KSA).
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar