Alhamdulillah,
puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Ta’ala yang telah
melimpahkan karunia dan nikmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, keluarga, para shahabat dan pengikutnya sampai hari akhir
nanti. Amin.
agama
Islam, menuntut ilmu merupakan syariat yang diwajibkan oleh Allah
Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,
“ Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan”.(QS. Al-‘Alaq :
1).

Demikian
pula Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
طَلَبُ
العِلْمِ فَرِ يْضَةُ عَلَ كُلِّ مسْلِمٍ
(رواه
احمد و ابن ما جه)
”Mencari
ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim”.(HR. Ahmad dan
Ibnu Majah, hadits hasan). Dan sabdanya yang lain :” Barang siapa
yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surge”. (HR. Muslim). Dan masih banyak ayat-ayat Al
Qur’an dan hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menerangkan tentang masalah ilmu ini.
Menuntut
ilmu agama, khususnya ilmu tentang apa-apa yang menjadi kewajiban
seorang hamba Allah adalah fardhu ‘ain. Setiap orang hrus
mengetahui kewajiban-kewajibannya, maka menuntut ilmu tentang itu
hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sebab tanpa mengetahui ilmunya, maka
seorang hamba tidak akan bias melaksanakan kewajibannya dengan benar.
Fudhail bin ‘Iyadh berkata :” Sesungguhnya amal yang dikerjakan
dengan ikhlas tetapi tidak benar, itu tidak akan diterima, begitu
juga jika mal itu benar namun tidak ikhlas juga tidak diterima.
Ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah, dan benar hendaklah
tegak berdasarkan sunnah”.
Amal
yang tidak sesuai dengan sunnah, baik itu karena penyelewengan maupun
karena kebodohan, maka tidk diterima. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَ مْرُ
نَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه
مسلم)
” Barangsiapa
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka
amalnya itu tertolak”. (HR. Muslim).
Orang
yang beramal tanpa ilmu dan orang yang berilmu tetapi menyeleweng
adalah dua golongan yang sangat merepotkan. Sulit diatur dn
menjadikan lelahnya orang yang mau meluruskannya. Sampai-sampai Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkataa:” Patahlah punggungku
gara-gara dua orang, yaitu orang yang berilmu tetapi menyeleweng dan
orang bodoh yang rajin beribadah”.
Pernyataan
yang hampir sama dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah :”
Kebodohan dan kedzaliman adalah pangkal dari segala keburukan”.
Kebodohan
itu saja sudah merupakan pangkal keburukan, apalagi justru kebanyakan
manusia itu bodoh dalam hal agama. Maka benarlah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang mengecam manusia,
“(sebagai)
janji yang sebenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi
janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.(QS.
Ar-Ruum : 6-7).
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat yang ke tujuh surat Ar-Rum
ini mengatakan:” Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya
ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini
mereka cerdik cendekia (piwai), tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap
perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di
akhirat. Mereka dalam hal agama dan akhirat ini bagai orang dungu
yang tidak punya nalar dan akal pikiran”.
Jahilnya
seseorang terhadap ilmu agama bisa menjerumuskan kepada bid’ah
bahkan kemusyrikan. Dalam hadits dijelaskan, ketika Adi bin Hatim
menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dilehernya
tergntung salib dari perak, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam membacakan ayat,
“ Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain Allah.” (QS. At-Taubah : 31).
Maka
jawab Adi bin Hatim, “Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Benar, tetapi
sesungguhnya mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikut, itulh
ibadah kepada mereka”. (HR. At-Tirmidzi).
Dalam
kisah ini, karena kebodohannya tentang ilmu agama, maka terjerumus
kepada hal-hal yang menyekutukan Allah Subhanahu w Ta’ala. Oleh
krena itu, menuntut ilmu agama adalah meniti jalan menuju surga,
sebab menghindari dari jalan yng menuju kesesatan, baik itu bid’ah,
khurafat, tahayyul, maupun sampai kepada kemusyrikan/menyekutukan
Allah. Dan hal ini ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :” Barang siapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu
maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surge”. (HR. Muslim,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Lebih
jelas lagi bahwa mengetahui atau memahami ilmu agama itu sangat
penting untuk menghindari diri dari kesesatan, bid’ah, khurafat,
tahayyul dan syirik adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
:” Barang siapa Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Allah
pahamkan dia dalam ilmu agama”. (HR. Bukhari).
Kebaikan
disitu berarti lawan dari keburukan, sedang keburukan yng merusak
agama di antaranya adalah kesesatan-kesesatan. Dan kesesatan itulah
yang diberantas ilmu dien, karena ilmu dien adalah warisan para nabi.
Sehingga para pemilik ilmu dien, yaitu ulama adalah pewaris para
nabi. Keutamaan ulama itu dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
فضل
العالم على العابد كفضل القمر على النجوم،
العلماء ورثة الأنبياء، والأنبياء لم
يورّثوا دينارا ولا درهما وإنّما ورّثوا
العلم، فمن أخذه أخذ بحظ وافر (رواه
الترمذيّ )
“Keutamaan
seorang alim (berilmu agama) atas seorang ‘abid (ahli ibadah)
seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama
itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewriskan
dinar ataupuk dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka
barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama), maka
dia telah mengmbil keuntungan yang banyak “. (HR. At-Tirmidzi).
Sampai-sampai
Allah pun menjanjikan untuk mengangkat derajat orang beriman yng
berilmu dengan firman-Nya,
“niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al
Mujadilah : 11).
Sebaliknya,
kalau mnusia sudah mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpinya,
maka yang terjadi adalah sesat menyesatkan. Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan,
إِنّ
الله لاَ يقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ وَلَكِنْ
يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبَْضِ العُلَمَاءِ
حَتَّى إِذََا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا
اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُسًا جُهَّالاً
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَضَلُّّوا (رؤاه
البخاريّ)
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari
hamba-hamba, tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut
(mewafatkan) para ulama, sehingga tidak ada lagi seorang alimpun.
Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka
itu lalu dimintai fatwa, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka
mereka itu sesat dan menyesatkan “. (HR. Al-Bukhari 1/34).
Hal
yang buruk pula akan menimpa umat ketika menjelang kiamat dalam
kaitan dengan ilmu. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan,
إِنَّ
مِنْ أشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ
العِلمَ مِن الأَصَا غِرِ
Sesungguhnya
termasuk salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah dicarinya
ilmu dari orang-orang rendahan. (Silsilah hadits shahih no 695).
Imam
Malik rahimahullah berkata:”Ilmu itu tidak diambil dari empat
golongan, tetapi diambil dari selainnya, yaitu:
- Orang yang bodoh.
- Orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya.
- Orang yang mengajak bid’ah dan pendusta walaupun tidak sampai tertuduh mendustakan hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaih wa sallam.
- Orang yang dihormati, orang shalih, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memhmi permasalahan.
Orang
alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah
manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Ada kisah dalam hadits
riwayat Bukhari-Muslim, sebagaimana dimuat dalam kitab Riyadhus
shalihin, bab taubat. Ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang.
Dia bunuh seorang rahib/ahli ibadah sebagai korbannya yang ke-100
karena jawban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah
tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya
setelah membunuh si ahli ibadah itu, mka si pembunuh pergi ke seorang
alim dan disana ia ditunjukan jalan untuk bertaubt, yaitu agar pergi
ke tempat yang di sana penghuninya menyembah Allah, agar ia ikut
menyembah-Nya sebagaimana yang mereka lakukan, dan jangan sampai
kembali ke desa semula karena disana tempat orang jahat. Di tengah
jalan, ia mati, maka Malaikat Rahmat bertengkar dengan Malaikat
Adzab. Lalu dating malaikat berujud manusia, menjadi hakim (juru
damai), menyuruh agar diukur mana yang lebih dekat, kampung baik atau
kampung jelek. Ternyata mayat ini lebih dekat sejengkal ke kampong
baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dibawalah dia oleh
Malaikat Rahmat. Demikianlah, dengan adanya orang alim yang member
petunjuk tentang kebenaran, maka diapun mendapatkan penerangan bagi
jalan hidupnya, hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat.
Betapa
jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang
menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran. Wallahu a’lam bi
shawwab. (diringkas dari Aliran dan Paham sesat di Indonesia. Hartono
Ahmad Jaiz. Pustaka al Kautsar 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar