Puji
syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah Subhnahu wa Ta’ala
yang telah memberi karunia kepada kita dengan nikmat-nikmat-Nya,
seandainya kita mau menghitungnya tentu kita tidak akan mampu.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam, keluarga, shahabat dan para
pengikutnya yang baik sampai hari kiamat. Amin.
Sebagai
seorang yang beriman tentunya kita akan meyakini dengan
sebenar-benarnya bahwa termasuk kenikmatan yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala janjikan kepada kita adalah surga, dimana surga tersebut
akan diberikan nanti di akherat. Kita sebagai seorang mukmin
diperintahkan untuk memintanya dengan cara berdoa kepada-Nya semata.
Surga
adalah sebuah tempat yang Allah ciptakan untuk hamba-hamba-Nya yang
beriman tanpa mencampur keimananya dengan kesyirikan. Untuk dapat
memasuki surga, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kepada
hamba-hamba-Nya sebuah kunci untuk memasukinya. Oleh karena itu kita
harus mengetahui kunci tersebut. Wahab bin Munabih rahimahullah
berkata kepada orang yang bertanya kepadanya, “Bukankah kunci surga
itu “laa
ilaaha illallah”?”.
Jawabnya: “Benar, tetapi setiap kunci itu mempunyai gerigi, jika
engkau datang membawa kunci yang bergerigi, niscaya (surga) akan
dibukakan bagimu, namun jika kuncinya tidak bergerigi maka surga
tidak akan dibukakan bagimu”. Yang beliau maksudkan gerigi kunci
adalah syarat-syarat laa ilaaha illallah. (Ibnu Rajab dalam Kalimatul
Ikhlash).
Sebelum
kita mengetahui syarat laa ilaaha illallah sebaiknya kita mengetahui
kedudukan dua kalimat syahadat dalam syariat Islam. Syahadatain (dua
kesaksian) merupakan dasar keabsahan dan diterimanya semua amal
hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu amalan akan sah dan
diterima apabila dilakukan dengan keikhlasan hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’la dan mutaba’ah (mengikuti) sunnah Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam. Ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla
merupakan realisasi dari syahadat (kesaksian) laa ilaaha illallah,
tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali
Allah. Sedangkan mutaba’ah atau mengikuti sunnah dari Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam merupakan realisasi dari syahadat
(kesaksian) bahwa Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah
hamba dan rasul-Nya.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah (wafat tahun 852 H), berkata:” Yang
dimaksud dengan syahadat di sini adalah membenarkan apa yang dibawa
oleh rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, sehingga mencakup
keyakinan rukun iman yang enam dan yang selainnya”.(Fathul Baari,
hadits no. 8).
Syarat-syarat
kalimat Laa ilaaha illallaah.
Kalimat
syahadat laa ilaaha illallah memiliki beberapa syarat yang wajib bagi
setiap muslim dan muslimah untuk mengetahui dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Syarat-syarat
tersebut adalah :
- Ilmu (Mengetahui).
Yaitu
mengetahui dengan sebenar-benarnya tentang makna yng ditunjukkan oleh
kalimat ini dan mengamalkan perkara yang dituntut oleh kalimat ini.
Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka
ketahuilah bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar)
selain Allah….” (QS. Muhammad: 19).
Sabda
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang
meninggal dunia dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka
dia masuk surga”. (HR. Muslim no.26 dari shahabat Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu’anhu).
Lawan
dari kata ilmu adalah jahil atau bodoh. Kebodohan inilah yang
menyebabkan orang-orang musyrik dari kelompok umat ini menyelewengkan
pengertian syahadat laa ilaaha illallah.
- Yaqiin (Meyakini).
Maksudnya
adalah barangsiapa yang mengucapkan kalimat ini hendaknya dengan hati
yang penuh keyakinan dan benar-benar yakin mempercayai apa yang dia
ucapkan. Yaitu dia benar-benar yakin bahwa hanya Allah sajalah
satu-satunya ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar
serta dia benar-benar yakin bahwa tidak ada ilah pun untuk diibadahi
dengan benar selain Allah.
Dalilnya
adalah sabda Nabi shlallahu’alaihi wa sallam: “..Aku bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah
dan bahwasanya aku (Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam) adalah
utusan Allah, tidaklah seorang hamba menjumpai Allah (dalam keadaan)
tidak ragu-ragu terhadap kedua(syahadat)nya tersebut, melainkan ia
masuk surga.” (HR Muslim no. 27 dari shahabat Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu). Juga sabda beliau shalallahu’alihi wa sallam
kepada shahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu :”..Pergilah
engkau dengan kedua sandalku ini, maka siapa saja orang yang engkau
temui di belakang kebun ini yang ia bersaksi bahwa tidak ada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dengan hati yang
meyakininya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan masuk
surga”. (HR. Muslim no.31).
Lawan
dari yakin adalah ragu, bimbang, berprasangka dan berpraduga. Jika
dia ragu-ragu terhadap makna sebenarnya dari kalimat ini atau dia
bimbang dalam menolak segala bentuk peribadahan kepada selain Allah,
maka kalimat syahadat la ilaaha illallaah tidak bermanfaat baginya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang munafik yang hati mereka
selalu ragu dan bimbang, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
Dia menghilangkan kemarahan hati mereka(orang mukmin). Dan Allah
menerima taubat orang yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana”.(QS at-Taubah: 15).
Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang mukmin yang tidak ragu
dalam imannya. Dia berfirman :
”Sesungguhnya
orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dengan harta dan jiwanya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjihad di jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar”.(QS. Al-Hujarat: 15). Ibnu Mas’ud
radhiyallahu’anhu berkata : “Yakin adalah beriman secara
keseluruhan, dan sabar adalah sebagian dari iman”.(Fathul Baari
1/48).
- Qabuul (menerima secara mutlak).
Maksudnya,
menerima seluruh konsekuensi dari kalimat laa ilaaha illallah secara
total dengan diamalkan melalui ucapan (lisan), tanpa adanya penolakan
dengan disertai kedengkian dan kesombongan sedikitpun. Para tokoh
Yahudi dan Nasrani telah mengetahui bahwa makna dari kalimt tauhid
ini, namun mereka menolaknya disebabkan kesombongan dan kedengkian.
Demikian pula kaum musyrikin yang mereka memahami makna kalimat laa
ilaaha illallaah bahkan membenarkan risalah Nabi Muhammad
shalallaahu’alaihi wa salam namun mereka enggan menerimanya
disebabkan kesombongan.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sungguh,
dahulu apabila dikatakan kepada mereka, La ilaaha illallaah (tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar selain Allah) mereka
menyombongkan diri, dan mereka berkata,”Apakah kami harus
meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS
ash-Shaafaat : 35-36).
- Inqiyaad (tunduk dan patuh).
Maksudnya,
menerima seluruh konsekuensi dari kalimat laa ilaaha illallaah dengan
penuh ketundukan dan kepatuhan melalui pengamalan anggota badan,
tanpa adanya penolakan dengan disertai kedengkian dan kesombongan
sedikitpun.
Allah
Subhnahu wa Ta’ala berfirman :
”Dan
kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum dating adzab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong”.
(QS az-Zumar : 54).
Dan
firman-Nya :
”Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas
berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim
menjadi kesayangan(-Nya)”. (QS an-Nisaa’ : 125).
Inilah
yng dimaksud inqiyaad (tunduk dan patuh) kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan hanya beribadah kepada-Nya. Adapun yang dimaksud
dengan inqiyaad kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah
dengan menerima sunnah-sunnah beliau, melaksanakan ajaran yang dibawa
beliau dan ridha atas hukum yang diputuskan beliau. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
”
Maka
demi Rabb-mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
sehingga tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS
an-Nisa’: 65).
Maka,
sebagai syarat kebenaran iman mereka adalah benar-benar patuh
terhadap hukum-Nya atau tunduk dn patuh terhadap ajaran yang dibawa
Nabi shallallaahu’alihi wa sallam dari Rabb-nya.
- Shidq (jujur).
Syarat
ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:”
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah dan bhwa Muhammad adalah utusan
Allah dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya
masuk Neraka”. (HR. Ahmad IV/16).
Adapun
orang yang hanya mengucapkannya dengan lisannya, sedang hatinya
mengingkari makna yang dikehendakinya, maka ia berdusta. Sebagaimana
firman Allah tentang orang-orang munafik :
”..Mereka
berkata,” Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah. Dan Allah
mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya, dan Allah menyaksikan
bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta”. (QS
Munaafiquun : 1).
Demikianlah
kebohongan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
”
Dan
di antara manusia ada yang berkata:”Kami beriman kepada Allah dan
hari akhir, padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang
beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal
mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari”. (QS
al-Baqarah : 8-9).
- Ikhlas.
Yaitu
memurnikan amal perbuatan dari segala kotoran-kotoran syirik, dan
mengikhlaskan segala macam ibadah hanya kepada Allah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman :
”..Maka
beribadahlah kepada Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.
Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik)…”.(QS
az-Zumar : 2-3). Dan firman-Nya :
”Katakanlah
(Muhammad):”Sesungguhnya aku diperintahkan agar beribadah kepada
Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.
(QS az-Zumar : 11).
Juga
sabda Nabi shalallaahu’alaihi wa sallam :”Orang yang paling
bahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang
mengucapkan laa ilaaha illallaah dengan tulus dan ikhlas dari
hatinya”. (HR Bukhari no 99 dan 6570).
Inilah
makna sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam :” Sesungguhnya
Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan laa
ilaaha illallaah karena mengharapkan wajah Allah”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
- Mahabbah (cinta).
Yaitu
cinta, maksudnya mencintai kalimat tauhid ini, mencintai isinya dan
apa-apa yang ditunjukkan atasnya. Seorang hamba wajib mencintai Allah
dan mencintai Rasul-Nya dan mencintai seluruh ajaran yang
dicintai-Nya berupa perbuatan ataupun ucapan, serta mencintai para
wali Allah dan orang-orang yang patuh kepada-Nya. Rasa cinta yang
benar akan melahirkan atau menimbulkan pengaruh yang baik terhadap
anggota badan.
Sebagian
orang mengatakan :” Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah,
tetapi ia tidak menyesuaikan diri dengan-Nya, maka batallah
pengakuannya”.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan syarat bagi orang-orang yang
mengaku cinta kepada-Nya, mereka harus mencintai Rasul-Nya dan
mengikuti Sunnah beliau.
Allah
‘Azza wa Jalla berfirman :
“
Katakanlah
(Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang”. (QS Ali-‘Imran : 31).
Rasulullah
shalallaahu’alaihi wa sallam bersabda: “ Tiga perkara yang bila
terdapat dalam diri seseorang, maka dia akan mendapatkan kelezatan
iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain
keduanya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, membenci
kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana
ia benci dicampakkan ke dalam neraka”. (HR. Bukhari dan Muslim).
- Kufur (ingkar) terhadap sesembahan-sesembahan selain Allah.
Sebagaimana
sabda Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam :” Barangsiapa yang
mengucapkan laa ilaahaillallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar selain Allah) dan mengingkari (sesembahan-sesembahan)
selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, dan hisab
(perhitungan amal)nya diserahkan kepada Allah”. (HR. Muslim).
Semoga kita bisa mewujudkan syarat-syarat laa ilaaha illallaah
sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkan kita ke dalam
surga-Nya.
Wallahua’lam
bi shawwab
Maraji’
- Syarah Rukun Islam. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Media Tarbiyah Bogor. Cetakan 1 tahun 2008.
- Al Wajibat Yang Wajib Diketahui Setiap Muslim. Abdullah bin Ibrahim al Qar’awi. Media Hidayah. Cetakan 5 tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar