Atha’ bin Abi Rabah, budak yang mulia dan terhormat
Oleh: Kamidi bin Karta Utama
“Dengan ilmu , rakyat bawahan bisa menjadi terhormat …..para budak bisa melampaui derajat para raja. ..’’
Ketika musim haji tiba , kala itu yang menjadi khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Khalifah memerintahkan kepada Atha’ bin Abi Rabah untuk berfatwa (memberi tausyiah atau nenjawab pertanyaan-paertanyaan kaum Ada kisah yang sangat menarik yang perlu di ketahui oleh seorang muslim. Pada waktu musim muslimin} pada musim haji tersebut. Pada musim haji tersebut khalifah di dampingi dua orang putranya ikut menunaikan ibadah haji. Smentara itu Sulaiman bin Abdul malik sedang tawaf di Baitul “Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki,tanpa memakai apapun selain sarung dan rida’ . Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau seperti layaknya kaum muslimin yang lain , yang sedang menunaikan ibadah haji .Dibelakangnya di ikuti oleh kedua putranya .
Seusai melakukan thawaf , khalifah menemui Atha’ bin Abi Rabah di sudut barat Masjidil Haram , yang sedang menjawab pertanyaan – pertanyaan dari para jamaah haji . Mereka semuanya ikut antri berderet ke belakang menunggu giliran untuk bertanya. Khalifah mendatangi Atha’ bin Abi Rabah, kemudian kemudian Atha’ bin Abi Rabah berkata kepada khalifah “ Ya amirul mukminin anda di sini untuk kepentingan pemerintahan atau pribadi?’’. Khalifah menjawab ,’’untuk kepentingan pribadi’’. Kalau begitu anda seoerti yang lainya ikut antri bersama mereka menunggu giliran. Khalifah kemudian juga ikut antri seperti kaum muslimin lainya. Setelah giliran tiba maka duduklah khalifah menanyakan perihal manasik haji, rukun demi rukunya,sedangkan Atha’ menjawab setiap pertanyaan yang di ajukan . Dia menjelaskan dengan rinci , seluruh jawaban di sandarkan kepada dalil yang akurat sesuai degan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Samentara itu kedua puttra mahkota Khalifah mengamati dengan seksama kepada orangtua yang begitu di hormati ayahnya, dan membuat ayahnya ikut antri bersama dengan rakyatnya. Ternyata orang tua yang bernama Atha’ bin Abi Rabah adalah seorang Habsyi ( sebutan untuk orang yang asal dari Negara Habasyah Afrika) yang berkulit hitam , keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila ia duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam.
Setelah merasa cukup dengan pertanyaan ya khalifah mendoakan syaikh tersebut agar mendapat balasan yang lebih baik, lalu khalifah beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut di ikuti kedua putranya. Sesampai di kemah keluarga kalifah , Sulaiman berkata kepada kedua putranya “ ‘’Wahai anaku .. carilah ilmu … karena demgan ilmu , rakyat bawahan bisa menjadi terhormat …..para budak bisa melampaui derajat para raja. ..’’
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan . Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil beliau hanyalah seorang budak milik seorang penduduk Mekah. Allah Subhannahu wa Ta’alla memuliakan budak Habasyah ini sejak dia memancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu. Jerih payah yang di lakukan Atha’ bin Abi Rabah dengan penuh ketekunan,kesungguhan serta penuh kesabaran hingga menghantarkan tabi’in yang agung ini ke derajat yang tinggi, yang manusia pada zaman itu hanya sedikit sekali bisa meraihnya.
Kenapa Atha’ bin Abi Rabah sanggup menempuh jalan yang penuh dengan tantangan dan hambatan? Karena Atha’ mempunyai kemauan, harapan dan keberanian mempunyai cita-cita yang begitu mulia sehingga seberat apapun rintangan yang berada di depanya sanggup ia hadapi.
Atha’ bin Abi Rabah sebelum di bebaskan oleh majikanya membagi waktu menjadi tiga bagian . Sepertiga bagian untuk berkhitmat dengan baik dan menunaikan kewajibanya sebagai budak, sepertiganya lagi untuk beribadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’alla dan sepertiga lagi untuk menuntut ilmu. Melihat budaknya berbakat di dalam menuntut ilmu maka majikanya memerdekakan Atha bin Abi Rabah untuk islam dan untuk kaum muslimin . Kemuliaan Atha’ bin Abi Rabah sehingga ia mencapai dalam hal agama dan ilmu karena ia mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak sibuk dalam hal yang tidak berguna dan memanfaatkan waktu pada hal - hal yang tidak berguna sehingga waktu tidak hilang secara sia- sia.
Maraji’ : Shuwaru min Hayati at-Tabi’in oleh Dr, Abndurrahman Ra’fat Basya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar